RSS

♪ Haazim Yassar Kecil Yang Bertahan Di Atas Keterbatasan ♪

Siapa yang tak kenal dengan kotaJakarta”, ya tentu sebagian orang sudah sering mendengar tentang kota ini. Kota yang akrab dengan kemacetan, polusi udara dimana-mana, tempat-tempat kumuh di jalan tol dan pinggiran sungai, dan gedung-gedung menjulang tinggi gagah berdiri seolah-olah menjadi langit. Banyak orang disana yang sudah mempunyai hidup mapan, hidup yang serba kecukupan, ingin ini ingin itu sudah tersedia, dan semua bisa di beli dengan uang. Hal ini berkebalikan dengan anak kecil bernama Haazim Yassar yang hidup serba kekurangan. Haazim Yassar tinggal di sebuah gang kecil perkampungan kumuh tak layak huni, dia dilahirkan oleh keluarga yang tak mampu. Haaziim, begitulah nama sapaannya ini anak pertama dari dua bersaudara dengan satu adik, yang mau tidak mau menjadi tulang punggung keluarganya karena dia hidup sebagai yatim piatu.
Haazim masih duduk sebagai siswa kelas 4 di SD N 1 Permata. Setiap pagi hari aktivitas wajib yang dilakukan Haazim mengurusi adiknya yang kebetulan masih balita misalnya memandikan adik dan sembari dia bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Setiap berangkat sekolah Haazim selalu membawa seperangkat alat untuk menyemir sepatu. Di sekolah Haazim memang dikenal sebagai anak yang cerdas dan aktif, walaupun di kesehariannya dia tidak pernah belajar tetapi selalu mendapat rangking 1 di kelasnya. Kecerdasan yang dimilikinya tidak di sia-siakan olehnya, setiap ada  PR (Pekerjaan Rumah) yang diberikan oleh guru disekolahnya merupakan lahan mencari uang baginya karena banyak teman di kelasnya meminta dia untuk membantu mengerjakan dan setiap PR yang dikerjakannya diberi upah Rp. 5000 per murid. Uang yang didapatnya ini digunakan untuk mencukupi kebutuhan dia dan adik kecilnya.
Sepulang sekolah dia tidak langsung pulang kerumahnya, melainkan dia menuju ke Stasiun Kereta Api yang lokasinya kebetulan dekat dari tempat sekolahnya. Di sana dia menjajakan jasa menyemir sepatu kepada setiap orang disana dengan muka lusuh dan lemas, karena kebetulan dari tadi pagi dia belum makan. Dengan suara lirihnya dia menawarkan kesemua orang di stasiun itu, “Pak, mau nyemir sepatu tidak?” katanya. Tak jarang banyak orang yang memakinya, mungkin mereka merasa terganggu olehnya. Setelah beberapa lama kemudian ada bapak-bapak yang bersedia untuk menggunakan jasanya, “Alhamdulillah” dalam hatinya berkata. Setelah dirasa uangnya cukup untuk membeli makanan, Haazim pun pulang kerumah yang mungkin bisa lebih patut disebut dengan “gubuk”. Di tengah perjalanan dia menghentikan langkahnya di sebuah warung pinggir jalan untuk membeli susu dan makanan untuk adiknya. Dan sesampainya dia di rumah, karena kebetulan adiknya masih tidur diapun dengan segera membangunkan adiknya untuk makan siang dan dengan segera pula dia ganti seragam dengan baju lusuh yang biasa dia pake sehari-harinya, karena setelah ini masih ada pekerjaan  yang harus dia kerjakan lagi yaitu memulung sampah. Sebelum dia berangkat ke TPU, dia istirahat sebentar dengan menyuapi adiknya dan sembari mengisi perutnya yang kosong.
Setelah tugas dirumahnya selesai dan dirasa cukup mempunyai tenaga kembali untuk bekerja lagi, dengan alat seadanya Haazim pun memutuskan untuk pergi ke TPU untuk menjadi pemulung yang sudah 2 bulan belakangan ini dia geluti. Dan setelah menempuh jalan yang lumayan panjang, sampailah dia di TPU. Dengan cepat dan sigap tangan kecilnya mencari bungkus makanan, botol-botol plastik dan semua barang yang masih  layak pakai. Sedikit demi sedikit botol-botol plastik itu pun dia kumpulkan kedalam keranjang yang digendongnya. Sinar matahari dan bau busuk yang menyengat pun tidak dia hiraukan, dalam tekadnya yang penting banyak hasil yang akan dia dapatkan. Keringat pun keluar deras dari tubuhnya, seolah menandakan betapa beratnya pekerjaan yang di sandangnya, padahal dia masih bersekolah yang seharusnya masih menjadi tanggung-jawab orang tuanya tetapi apa mau dikata Haazim adalah anak yatim piatu. Dia melakukan pekerjaan ini dengan ikhlas, semata-mata untuk membahagiakan adiknya. Dalam kesehariannya tidak ada kata-kata mengeluh yang terucap di bibir mungilnya itu.
Sinar matahari mulai meredup dan langitpun mulai menghitam, Haazim pun dengan sesegera  menyelesaikan pekerjaannya itu. Setelah dirasa hasilnya cukup dia pun pulang kerumah. Sebelum pulang ke murah, dia memutuskan untuk pergi ke pengepul dulu untuk menjual hasil dari memulungnya tadi. Di sepanjang perjalanan ke tempat pengepulan barang rongsokan, dia selalu berdoa dalam hatinya semoga uang yang didapatkannya nanti cukup untuk membeli makan untuk dia dan adiknya. Sampailah dia ditempat pengepul dan segara hasilnya ditimbang oleh pengepul, dengan seksama matanya tajam mengamati angka pada jarum timbangan. Dari hasil memulung hari ini hasilnya lumayan banyak, hanya rasa syukur yang dia ucapkan. Dengan segera Haazim pun kembali kerumah untuk memandiakan dan menyuapi adiknya. Aktivitas ini rutin dia lakukan setiap hari sampai dia dewasa. Dalam diri Haazim sudah mempunyai tekad, bahwa keterbatasan yang dia punya merupakan suatu tantangan yang dapat menguatkannya dalam setiap langkah kehidupannya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar